Subulussalam – MitraPolda.com |
Di kota yang disebut kampung Syeh Hamzah Fansury dan dijuluki kota santri, aroma religius seolah mulai tersaingi oleh bau alkohol dari botol-botol yang disembunyikan di bawah meja warung. Di lorong-lorong Simpang Kiri, Penanggalan, hingga Sultan Daulat, dentuman musik malam kini kerap menenggelamkan lantunan azan yang semestinya menjadi identitas kota ini.
Kota yang dulu dikenal melahirkan para hafiz dan ulama kini menghadapi kenyataan getir: “penyakit masyarakat” tumbuh subur di bawah kepemimpinan seorang ustaz. Warung remang-remang, penyedia minuman keras, hingga prostitusi terselubung bermunculan, seolah menguji sejauh mana pemimpin beriman bisa menegakkan nilai yang ia dakwahkan.
Harapan yang Tergelincir
Masyarakat semula menaruh harapan besar pada Ustaz H. Rasid Bancin (HRB), wali kota berlatar dakwah. Ia diharapkan mampu menjadi panutan—menyulut gerakan moral dan spiritual di tengah perubahan sosial. Tapi kenyataan berbicara lain.
“Hingga triwulan ketiga 2025, angka kriminal melonjak. Tercatat 40 kasus pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak serta perempuan, ditambah tiga kasus penganiayaan yang berujung kematian. Peristiwa berdarah di Lapangan Beringin, Simpang Kiri, menjadi alarm keras bagi pemerintah dan aparat. Sebagaimana disebutkan” Kasat Reskrim Subulussalam.
Polisi menyebut minuman keras sebagai pemicu utama, disusul lemahnya kontrol keluarga terhadap anak yang kini akrab dengan konten pornografi dan judi online (judol). “Banyak pelaku melakukan tindak kriminal setelah mabuk. Sisanya karena terpengaruh konten tak pantas dari HP,” ungkap salah satu penyidik.
Pemimpin yang Lengah, Aparat yang Lamban
Sebagai pemimpin sekaligus tokoh agama, publik berharap Wali kota tak hanya mengurus administrasi, tetapi juga membina moral kota. Namun kritik yang berhembus menyoroti hal sebaliknya—pembinaan sosial yang tumpul, ketegasan hukum yang longgar.
“Wali kota itu ustaz, semestinya memberi teladan. Tapi kalau warung remang-remang masih berdiri, siapa yang harus kita percaya?” ujar seorang tokoh agama di Penanggalan dengan nada getir.
Sementara itu, Satpol PP WH dan aparat hukum (APH) dinilai lamban. “Kalau tempat hiburan liar tetap beroperasi, berarti ada yang sengaja memalingkan muka,” kata seorang sumber internal Pemko Subulussalam.
Masyarakat mulai resah. Mereka mendesak pemerintah menertibkan peredaran miras, memperketat pengawasan lingkungan, dan menutup tempat hiburan yang menjadi sumber keresahan. Di sisi lain, ulama dan tokoh agama diminta tak hanya berkhutbah di mimbar, tapi ikut turun ke lapangan—menyentuh akar masalah dengan dakwah sosial yang nyata.
Refleksi Kota Santri
Subulussalam kerap menyebut dirinya kota santri. Tapi santri macam apa yang diharapkan bila di setiap sudut kota masih mudah ditemukan botol kosong dan musik malam yang memekakkan telinga?
Kota ini membutuhkan lebih dari sekadar slogan dan baliho religius. Ia butuh pemimpin yang bukan hanya bisa berceramah, tapi juga berani menindak, dan masyarakat yang bukan hanya menilai, tapi juga ikut menjaga.
Generasi emas Subulussalam tak boleh teracuni oleh alkohol, judol, dan pornoaksi. Jika penyakit ini terus dibiarkan, bukan hanya moral yang rusak, tapi juga nama baik kota yang dulu menjadi kebanggaan para ulama.
(@)Anton Tin.