Subulussalam, mitrapolda.com.–|
Konflik agraria di Kota Subulussalam kian menyeruak. PT Sawit Panen Terus (SPT) kembali dituding menjalankan praktik ilegal dalam ekspansi kebun sawit. Bukan hanya soal penyerobotan lahan, tetapi juga dugaan rekayasa sertifikat hak milik (SHM) yang menyeret nama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Rekayasa Harga & Manipulasi Data
Informasi dari sumber internal menyebut sejumlah pegawai PT SPT diduga merekayasa harga jual lahan warga agar seolah sah di mata atasan. Data pemilik tanah pun disebut dimanipulasi hingga terbit SHM seluas 200 hektar di Kampong Singgersing.
Namun, kepala kampong Singgersing (20/09) menegaskan tidak pernah ada rekomendasi penerbitan SHM maupun transaksi resmi.
> “Kalau pun ada kompensasi Rp2 juta per orang, itu tidak bisa disebut transaksi jual beli. Apalagi ada isu harga Rp16–Rp30 juta per hektar, kami sama sekali tidak tahu,” ungkapnya.
Ketua Kelompok Tani Dagar juga menegaskan, SHM 200 hektar milik kelompoknya tidak pernah diserahkan ke PT SPT dan pembayaran senilai Rp16–Rp30 juta per hektar sama sekali tidak pernah diterima. Yang terjadi, warga hanya menerima kompensasi Rp2 juta per hektar, bukan pembayaran jual beli sah.
Lebih jauh, ia menyebut ada kesepakatan dengan PT SPT menggunakan pola “bapak angkat” — 100 hektar untuk kelompok tani, 100 hektar untuk perusahaan. Namun hingga kini penanaman tidak kunjung tuntas.
Kontradiksi & Indikasi Mafia Tanah
Pengakuan itu justru bertolak belakang dengan klaim seorang internal PT SPT berinisial Teppu, yang menyebut lahan sudah dijual ke perusahaan dengan pembayaran 60 persen. Kontradiksi ini menegaskan adanya indikasi mafia tanah yang memanipulasi data kelompok tani demi meloloskan sertifikat kolektif.
Kasus ini memperpanjang daftar keganjilan PT SPT. Dokumen pelepasan kawasan hutan maupun izin prinsip perusahaan hingga kini tidak pernah dipublikasikan secara transparan.
Petani Lawan, DPR-RI Sorot
Situasi di lapangan makin panas. Petani menghadang alat berat PT SPT yang mencoba masuk ke kebun. Ketua Kelompok Tani Tua Sepekat, Ishak, menegaskan:
> “Ini bukan sekadar ganti rugi. Ini tanah hidup kami, lahan kami.”
Kasus Subulussalam bahkan masuk sorotan DPR-RI. Dalam RDP bersama ATR/BPN, perwakilan Pemko Subulussalam, H. Rasit Bancin, menuding ada penyimpangan redistribusi tanah hingga SHM bermasalah. Selain PT SPT, kasus serupa juga menyeret PT Laot Bangko (125 hektar) dan PT MSSB.
Satgas Mafia Tanah Dinilai Mandul
Lemahnya tindakan Satgas Mafia Tanah membuat publik pesimis. Dugaan kuat menyebut PT SPT kini telah menguasai lebih dari 12 ribu hektar lahan, sebagian besar lewat cara melawan hukum: pembukaan kawasan hutan tanpa izin, manipulasi data warga, hingga permainan di tubuh BPN.
Kasus Singgersing menjadi alarm besar: sertifikat bisa keluar tanpa sepengetahuan kepala kampong. Jika pola ini dibiarkan, masa depan petani Subulussalam berada di ujung tanduk.
Sketsa Dugaan Alur Mafia Tanah PT SPT
1. Mafia Tanah / Aktor Utama – Menyusun skema perolehan lahan murah.
2. Karyawan Internal PT SPT – Merekayasa harga tanah & laporan transaksi.
3. Manipulasi Data Kelompok Tani – Nama petani dicatut untuk dasar sertifikasi.
4. Perangkat Desa – Dimanfaatkan atau dicatut tanda tangannya.
5. BPN – Mengeluarkan SHM kolektif berdasar data manipulatif.
6. PT SPT – Menguasai lahan ribuan hektar dengan SHM bermasalah.
📌 Seruan Publik:
Masyarakat mendesak Satgas Mafia Tanah bekerja lebih optimal, mengusut tuntas keterlibatan oknum perusahaan, perangkat desa, hingga pejabat BPN. Dugaan adanya bekingan petinggi berpangkat di pusat dan provinsi harus dibuka terang, agar Subulussalam tidak terus menjadi korban mafia tanah berkedok investasi sawit.(@ntoni Steven Tin).