Subulussalam | MitraPolda.com —
Ironis, ketika para pejabat di Kota Subulussalam sibuk menanggapi viralnya video karyawan perusahaan kelapa sawit yang kedapatan minum tuak, namun justru diam seribu bahasa terhadap persoalan yang jauh lebih penting: dugaan pencemaran lingkungan dan belum lengkapnya izin Amdal milik PT Mitra Sawit Bersama II (MSB II) di Kecamatan Sultan Daulat.
Fenomena ini memperlihatkan wajah penegakan hukum yang naif dan munafik. Isu moral individu ditanggapi berlebihan, sementara masalah yang merusak hak hidup warga banyak justru diabaikan.
Masalah utama bukan tuak, tapi Limbah.Warga Namo Buaya dan SiPare-Pare sudah berbulan-bulan mengeluhkan bau busuk dari limbah cair pabrik PT MSB II. Setiap pagi hingga sore, udara terasa menusuk. Anak-anak dan lansia terpaksa menutup hidung, sebagian bahkan merasa mual.
Namun anehnya, bukan bau limbah yang diselidiki pejabat — malah video karyawan minum tuak yang jadi sorotan.
Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) jelas menegaskan bahwa setiap usaha wajib memiliki izin lingkungan, AMDAL atau UKL-UPL, sebelum beroperasi.
Tanpa dokumen itu, aktivitas produksi bisa dikategorikan ilegal dan berpotensi dikenai sanksi administratif maupun pidana.
Publik mulai mempertanyakan: Mengapa pelanggaran serius soal limbah dibiarkan, sementara hal video minum tuak disikapi heboh?
Apakah karena perusahaan sawit itu memiliki “bekingan”?
Ataukah karena aparat lebih nyaman memelihara citra moral ketimbang menegakkan hukum lingkungan?
Kondisi seperti ini menimbulkan kesan bahwa penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Padahal, hukum seharusnya menegakkan keadilan ekologis, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Perlu diingat, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap warga negara berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Negara—termasuk pejabat daerah—memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi hak tersebut.
Jika pejabat lebih sibuk mengomentari perilaku pribadi pekerja daripada menindak pencemaran udara yang merugikan ribuan warga, maka itu bukan sekadar kelalaian, melainkan pengkhianatan terhadap amanah jabatan.
Penegakan hukum lingkungan bukan sekadar formalitas izin, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.
Pejabat publik harus:
1. Transparan terhadap data izin perusahaan (Amdal, UKL-UPL, IMB);
2. Responsif terhadap laporan warga;
3. Netral dari tekanan politik atau ekonomi;
4. Mengedepankan kepentingan ekologis di atas kepentingan kelompok.
Sementara masyarakat berhak:
Melaporkan pencemaran ke Dinas Lingkungan Hidup, Gakkum KLHK, atau Ombudsman;
Meminta salinan izin lingkungan perusahaan (berdasarkan UU KIP);
Mengadvokasi lewat lembaga lingkungan seperti LPLHI atau Walhi.
Bau busuk limbah bukan hanya soal udara yang tercemar, tapi juga simbol betapa hati nurani sebagian pejabat telah kehilangan kepekaan.
Mereka mencium aroma tuak dalam video, tapi tak mencium bau busuk yang menguap setiap hari dari pabrik sawit.
Subulussalam butuh pejabat yang bukan hanya pandai beretorika, tetapi juga berani menegakkan kebenaran, meski melawan kepentingan. Karena keadilan lingkungan bukan untuk difoto — tapi untuk diperjuangkan.

		
				
			
                
                
                
                




 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 





