JAKARTA – MitraPolda.com |
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan jabatan kepala kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) merupakan jabatan karier dalam struktur organisasi Polri yang tunduk pada batas usia pensiun dan mekanisme pembinaan kepegawaian. Jabatan Kapolri tidak dapat disamakan dengan jabatan menteri dalam kabinet pemerintahan yang mengikuti masa jabatan presiden atau sewaktu-waktu dapat diberhentikan.
“Jabatan Kapolri merupakan jabatan karier dalam struktur organisasi polri yang tunduk pada batas usia pensiun dan mekanisme pembinaan kepegawaian, bukan jabatan politik seperti menteri yang mengikuti masa jabatan presiden,” ujar laki-laki yang akrab disapa Eddy itu dalam sidang lanjutan pengujian materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dalam Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (29/7/2025) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Eddy menjelaskan perbedaan antara jabatan kapolri dan menteri tidak hanya terletak pada kedudukan fungsional, tetapi juga pada dasar hukum pengangkatannya. Menteri diangkat dan diberhentikan sepenuhnya atas hak prerogatif presiden, sedangkan kapolri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Eddy menuturkan terkait masa jabatan, UU Polri secara tegas telah mengatur batas usia pensiun anggota Polri—termasuk Kapolri—adalah 58 tahun dan dapat diperpanjang hingga 60 tahun berdasarkan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, masa jabatan Kapolri tidak ditentukan oleh periode masa jabatan presiden.
“Tidak ada ketentuan dalam UU Polri yang menyatakan bahwa masa jabatan kapolri mengikuti masa jabatan presiden. Pemaknaan demikian tidak memiliki dasar hukum dan dapat menimbulkan ketidakpastian dalam manajemen organisasi Polri,” kata dia.
Selain itu, menurut Eddy, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan, karena tidak dapat membuktikan adanya kerugian konstitusional secara nyata, spesifik, dan aktual yang ditimbulkan akibat berlakunya norma yang diujikan. Para Pemohon tidak memiliki hubungan langsung sebagai pihak yang dirugikan secara konstitusional. Tidak ada bukti bahwa keberlakuan norma tersebut berdampak pada hak-hak konstitusional mereka.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto selaku Ahli di bidang Hukum Tata Negara dan Ilmu Perundang-undangan dihadirkan Pemohon dalam sidang ini. Dia mengatakan Kapolri adalah pejabat publik yang diangkat presiden dengan persetujuan DPR sehingga terdapat mekanisme check and balances, berbeda dengan menteri yang merupakan pembantu presiden dan dapat diangkat atau diberhentikan secara langsung tanpa persetujuan lembaga lain.
“Jabatan kapolri memang melalui proses politik, tetapi bukan jabatan politik. Artinya, kapolri bukan bagian dari struktur kabinet yang langsung melekat pada masa jabatan Presiden,” kata Aan yang hadir dalam persidangan secara daring.
Aan melanjutkan, berbeda dengan menteri yang masa jabatannya secara eksplisit berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan presiden, kapolri tunduk pada ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU Polri. Namun dia menyoroti ketidakjelasan norma dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Polri yang memuat alasan pemberhentian kapolri, salah satunya karena “masa jabatan telah berakhir”. Menurutnya, ini menimbulkan persoalan konstitusional karena batang tubuh undang-undang sama sekali tidak mengatur tentang masa jabatan kapolri.
“Penjelasan tidak boleh mengandung norma baru yang tidak terdapat dalam batang tubuh. Hal itu bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan,” sebut Aan.
Dia menekankan bahwa memasukkan norma dalam penjelasan yang bukan merupakan tafsir dari norma dalam batang tubuh dapat menimbulkan interpretasi ganda dan ketidakpastian hukum. Dalam perspektif negara hukum, segala bentuk pembatasan kekuasaan, termasuk dalam jabatan publik, harus mengikuti prinsip legalitas dan kepastian hukum.
Permohonan ini diajukan Syukur Destieli Gulo, Christian Adrianus Sihite, dan Devita Analisandra yang berstatus sebagai Pelajar/Mahasiswa. Mereka menguji Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (NRI). Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” Sementara Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”
Para Pemohon mengatakan frasa ‘disertai dengan alasannya’ dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.
Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.
Ketiganya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah, antara lain: a. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet; b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; c. permintaan sendiri; d. memasuki usia pensiun; e. berhalangan tetap; f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan para Pemohon memohon agar Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian NRI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (ril/mkri)